Sastra sejarah seringkali dipandang sebagai ruang yang membingungkan, sebab ia berada di persimpangan antara catatan faktual dan ekspresi estetis. Sejarah biasanya dianggap sebagai rekaman objektif mengenai masa lalu, dengan data dan bukti yang dapat diverifikasi. Akan tetapi, objektivitas sejarah sesungguhnya tidak pernah mutlak. Hayden White, seorang filsuf sejarah, menegaskan bahwa “Sejarah pada dasarnya adalah narasi yang dibentuk oleh bahasa dan gaya penuturan.” (White, 1973). Hal ini berarti bahwa sejarah, meskipun berangkat dari fakta, selalu melewati proses interpretasi yang membuatnya tidak sepenuhnya bebas dari subjektivitas.
Di sisi lain, sastra sejarah mengolah fakta menjadi kisah yang hidup melalui bahasa yang indah dan daya imajinasi. Fakta dijadikan sebagai kerangka dasar, tetapi estetika memberi ruh agar peristiwa sejarah tidak hanya dipahami secara intelektual, melainkan juga dirasakan secara emosional. Paul Ricoeur menyebutnya sebagai “kebenaran naratif”, yaitu kebenaran yang tidak hanya berpijak pada data, melainkan juga pada makna yang dibangun dalam cerita (Ricoeur, 1984). Oleh karena itu, imajinasi dalam sastra sejarah bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan sarana untuk memperdalam pemahaman kita tentang masa lalu.
Paradoks antara fakta dan estetika dalam sastra sejarah bukanlah kontradiksi mutlak, melainkan ruang dialektika. Fakta menjaga agar karya sastra tidak jatuh pada fiksi murni, sementara estetika menjadikan kisah itu menyentuh hati pembaca. Paradoks ini justru memperlihatkan bahwa kebenaran tidak hanya bisa diukur dari data, tetapi juga dari cara suatu peristiwa dipahami dan dimaknai. Hal ini sejalan dengan pandangan Ankersmit yang menyatakan bahwa “kebenaran dalam sejarah terletak pada representasi naratif, bukan semata pada fakta” (Ankersmit, 1983). Dengan begitu, sastra sejarah mampu menghadirkan pengetahuan sekaligus pengalaman batin yang utuh.
Pada akhirnya, pertanyaan “sastra sejarah: fakta atau estetika?” tidak harus dijawab dengan pilihan yang meniadakan salah satunya. Sastra sejarah justru menjadi kuat karena memadukan keduanya yang berfungsi sebagai jembatan antara data dan makna, antara masa lalu yang nyata dengan pengalaman estetik yang membangkitkan rasa. Melalui paradoks ini, sastra sejarah tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang apa yang terjadi, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang bagaimana peristiwa itu dirasakan, dihayati, dan dimaknai oleh manusia. Oleh karena itu, sejarah dan sastra tidak hanya memiliki fungsi menyampaikan informasi, tetapi dengan caranya masing-masing dalam merepresentasikan dunia dapat memberi pemahaman tentang realitas. Hal itu menekankan bahwa antara sejarah dan sastra saling berkorelasi atau melengkapi dalam memperluas wawasan atau pemahaman serta dapat mengungkapkan makna dan kebenaran.
Daftar Pustaka
Ankersmit, F. R. (1983). Narrative Logic: A Semantic Analysis of the Historian’s Language. The Hague: Martinus Nijhoff.
Ricoeur, P. (1984). Time and Narrative, Vol. 1. Chicago: University of Chicago Press.
White, H. (1973). Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
